Foto profil untuk Ruby Suramulia

Sekitar 35 tahun yang lalu, saya memiliki seorang teman kuliah yang sama-sama menjadi panitia kegiatan Ramadhan di masjid kampus kami.

Tugas kami berdua saat itu adalah mengkonfirmasi jadwal penceramah kuliah subuh di masjid kampus kami selama bulan Ramadhan. Karena itulah, selama sebulan sebelumnya, yaitu di bulan Sya'ban, kami berdua harus mengunjungi para kandidat penceramah untuk mengkonfirmasi jadwal kuliah subuh mereka.

Harap diingat, masa itu masih zaman jayanya Orde Baru, di mana HP dan email belum lahir di Indonesia. Anak Gen Z, bahkan Milenial, mungkin sulit untuk membayangkan keterbelakangan teknologi di masa kami menghabiskan kuliah kami dulu.

Karena itulah, kami harus mendatangi para kandidat penceramah itu satu per satu ke tempat tinggalnya masing-masing.

Teman saya ini sehari-harinya bepergian naik motor. Sedangkan saya, sebagai mahasiswa missqueen, kalau tidak naik angkot ya jalan kaki.

Karena diberi tugas seperti itu, teman saya menggunakan mobil ayahnya untuk bersama-sama saya mengunjungi rumah para kandidat penceramah yang tersebar di seluruh penjuru kota tempat kami tinggal.


Ayah teman saya itu memiliki dua buah mobil. Untuk keperluan tugas kami, teman saya menggunakan keduanya secara bergantian.

Di saat bepergian bersama itulah, saya mengamati kedua mobil tersebut. Kedua-duanya adalah mobil lawas yang saat itu berusia sekitar 20-an tahun.

Tapi yang paling mengesankan saya adalah, mobil-mobil itu sangat terawat. Sama sekali tidak ada perasaan menaiki mobil tua bangka yang lecek, usang, ringkih, terengah-engah, dan sewaktu-waktu minta mogok.

Sebaliknya, feeling-nya adalah seperti menaiki mobil antik yang masih gagah dan powerful. Mobil yang tua-tua kelapa, makin tua makin berminyak.

Teman saya mengatakan dengan bangga kalau memang ayahnya sangat merawat kedua mobil tua tersebut.

Pengalaman itu rupanya sedemikian membekas di dalam hati saya. Sehingga di alam bawah sadar saya, saya pun ingin memiliki pengalaman seperti itu ketika saya sudah berumur kelak.


Dan fast forward ke masa sekarang, bayangan bawah sadar itu sudah hampir terwujud. Mobil terakhir yang saya beli saat kondisinya masih baru, dan masih saya pakai hingga sekarang, usianya sudah lebih dari 15 tahun.

Walaupun mungkin mobil saya tidak terawat sebaik mobil-mobil ayah teman saya itu, saya sama sekali tidak punya rencana untuk menjual mobil saya. Saya bangga mengendarai mobil tua yang sudah semakin sedikit kawan seusianya di jalanan.

Saya ingin menggunakan terus mobil itu hingga suatu saat nanti, orang di jalanan akan langsung mengenalinya sebagai sebuah mobil antik.


Jadi, demikianlah filosofi saya dalam membeli dan memiliki mobil.

Bagaimana dengan electric vehicle (EV)?

Saya yakin kalau EV (yang dijual saat ini) tidak akan bisa menyamai longevity dari mobil berbahan bakar minyak.

Saya lebih melihat kemiripan EV yang beredar saat ini dengan sebuah HP. Ketika baterainya sudah soak, ketika lifetime baterainya sudah tercapai, ya sudah, dibuang saja. Ganti lagi dengan EV lain yang baru.

Tapi kan baterai EV bisa diganti? Ya, itu kan katanya.

Saat ini kita kan belum tahu secara aktual, yaitu berdasarkan data pemakaian yang nyata, tentang pertama, berapa sih usia rata-rata dari baterai sebuah EV?

Lalu, kedua, yang tidak kurang pentingnya, kalau usia baterainya sudah habis, apa best practice yang dilakukan orang-orang? Mengganti baterainya-kah, ataukah beli saja EV yang baru?

Karena baterai EV itu kan adalah salah satu komponen termahal dari sebuah EV. Dulu saya pernah baca kalau harganya mencapai paling tidak 40% dari harga sebuah EV.

Jadi, perlu dipertanyakan seberapa ekonomis mengganti baterai sebuah EV yang sudah soak.

Terus, kalau tidak mau ganti baterai, melainkan mau beli EV yang baru saja, berarti EV yang lama kan harus dijual.

Kapan waktu terbaik untuk menjual EV yang lama? Apakah setelah usianya tiga tahun, lima tahun, atau kapan?

Juga, berapa harga jual pasaran sebuah EV bekas?

Belum lagi kalau ditanya, siapa sih yang mau beli EV bekas? Sudah ada belum pasarnya? Susah tidak menjualnya? Jangan-jangan, kita cuma bisa menjualnya ke "pemulung" EV bekas.

Ya, saya rasa sebentar lagi kita akan menemui profesi "pemulung" EV bekas. Profesi yang mirip dealer mobil bekas saat ini, tapi wajib memiliki kemampuan merekondisi EV bekas, termasuk mengganti baterainya.

Karena, cepat atau lambat, harus ada yang menampung EV bekas ini, terutama yang baterainya sudah/menjelang kadaluwarsa, tapi pemilik aslinya tidak mau mengganti baterainya.

Nah, dalam hal ini, saya sama sekali tidak memiliki jiwa pioneer untuk mencoba-coba hal yang baru di dunia otomotif.

Kecuali mungkin kalau saya punya channel YouTube yang bisa mendatangkan banyak uang seperti miliknya Om Mobi, Fitra Eri, Ridwan Hanif, dan yang semisalnya. Kalau buat mereka sih, hal-hal seperti itu kan bisa dikontenin untuk mendatangkan cuan.

Berhubung saya hanya rakyat jelata biasa, kalaupun saya diberi umur panjang dan uang yang cukup, insyaallah saya tidak akan pernah membeli EV, paling tidak dalam kurun waktu 10 tahun ke depan. Iya, betul, 10 tahun ke depan.

Karena, saya harus lihat dulu bagaimana best practice yang nyata, yang dilakukan orang-orang, dalam memiliki dan merawat sebuah EV. Saya tidak sudi jadi kelinci percobaan.

Apalagi, sesuai dengan filosofi saya tentang mobil, saya bukan tipe orang yang ganti mobil setiap lima tahun atau bahkan kurang.

Di samping itu, dalam waktu sepuluh tahun, seharusnya teknologi EV pun sudah akan jauh lebih berkembang daripada saat ini. Ya kan?

Termasuk teknologi yang membuat EV semakin canggih tapi semakin murah. Karena terus terang aja sih, walaupun beberapa pihak menggembar-gemborkan kalau EV sekarang itu sudah murah, buat saya sih, ya tetap saja mahal. Murah dari mananya? Terutama kalau mempertimbangkan semua pertanyaan dan keberatan saya di atas.

Jadi, buat saya sih, ya tunggu saja. Tidak perlu tergesa-gesa membeli EV. Tidak perlu terbawa hype.

Let's wait and see. Good things come to those who wait.

Lihat 11 jawaban lainnya untuk pertanyaan ini
Tentang Kami · Karier · Privasi · Ketentuan · Kontak · Bahasa · Pers ·
© Quora, Inc. 2025