Pernah tidak anda berpikir, mengapa para jamaah yang baru pulang dari mendengar ceramah agama, tablig akbar, atau shalat tahajud dan doa serta ritual lain yang sangat intensif wajahnya ceria dan sumringah?
Oh tidak, saya tidak akan bicara dosa-dosa mereka luruh dan diampuni semua oleh Tuhan atau permintaan mereka dikabulkan seluruhnya. Saya hanya ingin berbicara tentang fisiologi mereka saat mengalami religious experience.
Menggunakan (SPECT) single-photon emission computed tomography, Andrew Newberg, direktur riset di Marcus Institute of Integrative Health dan dokter di Thomson Jefferson University Hospital, men-scan otak seorang sister Fransiskan yang telah menghabiskan 34 tahun umurnya untuk berdoa di biara, pada saat berdoa. Hasilnya, Newberg setidaknya menemukan beberapa bagian otak yang teraktivasi pada saat seseorang berdoa. Yakni bagian atensi (perhatian, konsentrasi) dan bahasa
.Sementara wilayah otak lain seperti orientasi yang mengarahkan kita pada ruang dan waktu justru mengalami penurunan aktivitas. Menurut Andrew, hal tersebut menunjukkan bagaimana meditasi dapat memblokir sensor dan pikiran kita dari persepsi ruang dan waktu sementara disisi lain meningkatkan aktivitas komunikasi dan atensi.
Dalam studi yang lebih baru
, Jordan Grafman dkk memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai bagian otak mana saja yang meningkat aktivitasnya pada saat seseorang mengalami pengalaman relijius, yaitu: 1. Teori of Mind 2. kontrol kognisi, 3. pemrosesan dan penyimpanan semantik (makna, bahasa), 4. Motivasi dan penilaian, 5. integrasi multi-sensor, 6. deteksi konflikArtinya apa? Studi Grafman ini pada dasaranya menunjukkan bila seluruh bagian otak orang yang tengah berdoa dan mengalami pegalaman relijius menjadi aktif. Hal serupa bisa dijumpai pada saat kita tengah berkomunikasi atau mendengarkan/ memainkan musik.
Hal selanjutnya yang ditemukan adalah aktivasi theory of mind, yakni kemampuan untuk berempati dan memahami orang lain
. Aktivasi wilayah ini menurut Grafman dkk sama seperti aktivasi otak pada saat melakukan komunikasi interpersonal. Bagiamanapun juga pada saat berdoa anda otak anda mengabstraksikan Tuhan dan berbicara padanya.Yang menarik Grafman dkk juga menemukan bahwa pengalaman relijius memberikan "manfaat" personal diluar peniliaian apakah doa kita diijabah atau tidak. Dalam studi mengenai hubungan antara rasa sakit dan doa, ditemukan bahwa mereka yang mengalami pengalaman relijius merasakan level rasa sakit yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak mengalami pengalaman tersebut. Hal ini menjelaskan bagiamana area motivasi dan penilaian di otak kita menjadi sangat aktif pada saat mengalami pengalaman relijius. Area otak ini juga merupakan area otak yang sama saat kita mengalami kenikmatan sex, menghisap narkoba atau makan coklat.
Temuan ini setidaknya mengkonfirmasi temuan sebelumnya mengenai hubungan antara oksitosin, hormon rasa kasih sayang dan ikatan cinta, dengan pengalaman spiritual dan respon emosional terhadap meditasi. Dimana menurut Patty van Capellen dkk pemberian hormon ini mempengaruhi daya spiritual dari dua kelompok berbeda yang efeknya hingga berminggu-minggu
. Dalam studi yang berbeda juga ditemukan bila kadar testosteron dalam tubuh berkaitan erat dengan tingkat relijiusitas sesorang. Menurut Aniruddha Das dari Universitas McGill, orang lanjut usia yang kadar testosteron-nya tinggi akan cenderung tidak terlalu relijius ketimbang mereka yang memiliki kadar testosteron yang rendah .…
Kembali ke pertanyaan awal, mengapa orang yang baru pulang dari masjid, gereja, atau setelah menghadiri pengajian rata-rata bahagia? Ya karena otak mereka baru saja dibanjiri oleh "hormon cinta". Efek dari hormon ini tentu tidak berlangsung lama dan harus diisi ulang terus menerus agar anda merasa damai, bahagia dan sejuk. Otak kita mengenali sistem reward ini dan mengasosiasikan pengalaman relijius sebagai sebuah kenikmatan dan jadi tergantung padanya.
Saya pikir pada poin inilah statemen Karl Marx bahwa agama itu adalah opium masyarakat, yakni bikin orang yang menjalankannya ketagihan dan terus menerus melakukan aktivitas keagamaan yang membuat mereka merasa senang dan nyaman mendapat relevansinya.
Jangan lupa juga kata ekstasi yang digunakan dalam narkoba itu berawal dari pengalaman religius mereka yang mempraktekkan agama dan menyembah Tuhan, dan ini mengingatkan saya akan karya terkenal Lorenzo Bernini.
The Ecstasy of Saint Teresa.
Semoga membantu.
Catatan Kaki