Ya, hewan juga mengalami depresi.
Pada dasarnya, depresi pada manusia bisa terdiagnosis secara subjektif. Gejala umum dari diagnosisnya bisa berupa perasaan bersalah, tidak bahagia hingga berpikir untuk mati (bunuh diri).
Banyak saintis yang percaya bahwa hewan juga dapat mengalami depresi, tetapi karena hewan tidak bisa berkomunikasi seperti layaknya manusia, maka seringkali agak sulit untuk mendiagnosis depresi yang mereka sedang alami. Sebagai gantinya, para saintis melakukan pengamatan yang mendalam mengenai perilaku serta suasana hati dari si hewan tersebut.
Salah satu gejala utama depresi adalah anhedonia
yang merupakan suatu kondisi di mana mahkluk hidup mengalami kehilangan minat terhadap kegiatan yang dahulu disukai/menyenangkan baginya dan terjadi penurunan kemampuan untuk merasakan kesenangan. Para saintis biasanya mencari anhedonia pada hewan untuk menemukan pola depresi dengan mengukur tingkat ketertarikan pada makanan yang mereka sukai, dorongan seks, perubahan pola tidur hingga tingkat sosialisasi hewan tersebut dengan sekitarnya.Oliver Berton—seorang asisten profesor ilmu saraf di Universitas Pennsylvania, mengulas studi mengenai tikus, primata dan ikan yang mengalami penurunan ketertarikan untuk hidup. Studinya pada tikus mengindikasikan bahwa tikus yang dikeluarkan dari kelompok sosialnya atau dipaksa hidup dengan hewan yang lebih besar dari si tikus, maka si tikus tersebut akan cenderung mengalami depresi. Mengapa? Karena habit dari tikus itu sendiri adalah suka bergerak ke sana dan kemari secara bebas—tikus yang mengalami depresi sudah tidak peduli dengan hal tersebut.
Depresi pada hewan juga didukung oleh sebuah fakta bahwa anjing—binatang peliharaan paling populer di dunia—dan manusia sebenarnya memiliki struktur otak yang sama, yang secara sains mengindikasi bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa anjing tidak dapat mengalami depresi.
Manusia yang mengalami depresi sering diberi obat antidepressant. Pada tahun 1981, seorang dokter hewan muda bernama Nicholas Dodman melakukan hal sama pada seekor hewan yang mengalami gejala-gejala kecenderungan depresi, dan hasilnya obat tersebut memberi efek bagi perkembangan suasana hati hewan tersebut.
Perlahan-lahan, para dokter hewan pun mulai sadar, dan pabrik-pabrik obat pun akhirnya banyak memproduksi obat antidepressant yang dibuat khusus untuk anjing.
Walaupun banyak dokter hewan yang sudah mengklaim bahwa hewan juga bisa mengalami depresi, tapi para saintis lebih memilih untuk belum terlalu percaya dengan klaim tersebut sebelum dilakukan studi ekstensif lanjutan.
Catatan Kaki